Peluang adalah apa yang tak dilirik orang

10.3.09
Seeing is believing… kira-kira demikian yang saya alami beberapa minggu lalu saat menempuh safari bisnis ke Sumatera. Maklum beberapa media massa sejak lama telah melansir berita bahwa harta di daerah sangat berlimpah. Hasil liputan dari reporter-reporter itu sebenarnya cukup menggambarkan bagaimana denyut bisnis di daerah.

Muncul rasa penasaran. Akhirnya saya menyaksikan langsung dan langsung percaya hasil liputan-liputan itu. Jadi, saya bersaksi bahwa duit di daerah sangat berlimpah. Lampung dan Palembang menjadi tempat persaksian saya. Jangan bayangkan bahwa hanya kota tempat duit menumpuk. Sumber daya alam di daerah menjadi ihwal bagaimana duit melimpah di sana.

Beberapa waktu lalu, saya melakukan perjalanan ke Lampung dan Palembang. Kesaksian saya diatas merupakan hasil dari perjalanan tersebut. Bila di Lampung, saya menyaksikan orang-orang kaya bersahaja tapi tinggal jauh di pelosok. Maklum, mereka adalah petani-petani perkebunan sawit yang lahannya mencapai ribuan hektar.

Salah seorang pengusaha perkebunan sawit yang saya temui, menjamu saya dengan mengendarai mobil sekelas Taft GT saja. Padahal omzet bisnisnya tembus angka miliaran rupiah.

Disini saya melihat perbedaan antara pengusaha di kota (misalnya di kota-kota besar di Jawa) dengan di pedesaan. Para pengusaha kakap yang tinggal di pelosok bumi ini memutar bisnisnya dengan tarikan nafas bisnis yang panjang sekaligus besar. Berinvestasi di Lampung dengan membuka lahan tambak hanya dengan 6 petak saja bisa menelan dana hingga Rp2 miliar.

Padahal pemandangan yang disaksikan dari bisnis senilai miliaran rupiah ini berwajah desa sekali. Maksudnya, tak ada suasana glamor khas urban disini. “Ibaratnya satu tarikan nafas pebisnis di daerah sangat panjang dan ketika tiba saat memanen, maka hasilnya pun sangat besar. Sementara tarikan nafas pebisnis di perkotaan umumnya pendek dengan mengandalkan putaran omzet yang cepat” Jadi, kepintaran memutar modal yang dimiliki merupakan kunci pengusaha di perkotaan.


Sementara saat saya mengunjungi Palembang, saya menangkap nuansa berbeda. Aroma urban lebih kental disini. “Misalnya, saat saya berkeliling di mall yang mulai bertebaran di Palembang, sangat suasananya sudah mendekati suasana mall di Surabaya yang kelas Royal Plaza atau ITC Mega Grosir.”

Pakaian pengunjungnya? Modis. Tak beda jauh dengan penampilan saudara-saudara kita yang ada di Jakarta, Bandung, Surabaya, dan kota-kota lainnya. (Tapi bisa jadi suasana ini hanya muncul kala malam minggu saja. Kebetulan saya berkunjung pada saat malam minggu).

Kota dan desa akhirnya hanya menjadi kategori geografis saja. Secara demografis, masyarakat di dua kawasan ini sudah nyaris sama. Mode fashion hingga kegemaran penduduknya tak beda jauh. Sebagaimana gaya hidup kelas menengah, para pengunjung mall di kota Empek-empek tak hanya melakukan window shopping. Mereka berbelanja. Dan toko-toko yang dituju oleh mereka adalah tenant-tenant kelas internasional yang menyerbu mall-mall tersebut, seperti Bodyshop dll.

Menjamurnya mall di Palembang dimulai sejak diselenggarakannya Pekan Olahraga Nasional (PON) di Palembang. Dari sini akselerasi bisnis Palembang menjadi lebih cepat. Bisa jadi ini terkait dengan semakin bagusnya kualitas infrastruktur. Ya... biasanya penyelenggaraan acara nasional seperti PON selalu diiringi dengan perbaikan berbagai infrastruktur daerah.

Dengan kata lain, pembangunan infrastruktur oleh pemerintah menjadi stimulus bisnis di kota ini. Hal ini pula saya jumpai di Lampung. Pembangunan infrastruktur menjadi penggerak perekonomian di daerah yang terkenal dengan tambak udang terbesar se-Asia Tenggara-Dipasena ini.

“Disini, kejelian seorang konglomerat tampak. Ciputra rupanya tidak menunggu infrastruktur dibangun terlebih dahulu. Justru dia menabung sebanyak mungkin lahan untuk bisnis real estate di Lampung. Tentu dengan harga murah sebab daerahnya tak terjangkau pembangunan infrastruktur, baik jalan ataupun jembatan.”

Setelah land bank (tabungan lahan) menumpuk, rupanya bertepatan dengan pembangunan akses jalan dari lahan yang dikuasainya yang langsung menuju sebuah pelabuhan berkelas internasional. Lagi-lagi pelabuhan atau infrastruktur ini baru-baru saja pembangunannya. Entah, apakah jalur yang langsung menuju pelabuhan internasional itu dibangun karena lobi Ciputra atau bukan.

Namun yang pasti, Ciputra telah berbelanja tanah saat harganya murah yang saat sekarang harganya telah melonjak. Padahal orang lain bisa jadi enggan melirik atau bahkan membeli lahan di daerah tersebut. Saya akhirnya tersadar bahwa pengusaha selalu mengambil kesempatan sebelum orang kebanyakan melihat hal tersebut sebagai peluang bisnis. Ciputra mendahului membeli tanah di sekitar sana. Padahal orang lain baru-baru saja membeli tanah disana, tentu dengan harga lebih mahal.

Peluang bisa diciptakan, jangan melihat peluang setelah orang lain menciptakan peluang tersebut. Sebab itu bukan peluang emas. Itu adalah peluang tembaga. “Segera bertindak dan kondisikan apa yang ingin dicipta sebagai peluang,” gumam saya dalam hati menginsyafi action Pak Ciputra. Takdzim buat Pak Ciputra. (HM1)

Sumber : Andi Sufariyanto, CEO PT Adila Imperium

1 comments: